Oleh Irwan Arfa
Biasanya,
pemilihan kepala daerah selalu menarik perhatian dan menjadi pembahasan
hangat baik di tingkat kampus, perkantoran, hingga warung kopi.
Fenomena tersebut juga terjadi di Sumatera Utara (Sumut) yang akan
melaksanakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur pada 7 Maret 2013.
Kemeriahan itu dapat dilihat dari banyaknya nama yang muncul atau
dimunculkan untuk menjadi pemimpin di salah satu provinsi di bagian
barat Indonesia itu.
Nama yang akan mencalonkan diri bukan hanya tokoh yang berkiprah di
tingkat lokal, melainkan sejumlah tokoh yang beraktivitas di level
nasional.
Di tingkat lokal terdapat nama Pelaksana Tugas Gubernur Sumut Gatot
Pujo Nugroho, Ketua DPW Partai Persatuan Sumut Fadly Nurzal, mantan
Dirut Bank Sumut yang juga Ketua Umum KONI Sumut Gus Irawan Pasaribu,
Ketua DPW Partai Amanat Nasional Syah Afandin, dan Ketua DPD Partai
Demokrat Sumut HT Milwan.
Kemudian, Wakil Ketua DPRD Sumut Kamaluddin Harahap, Ketua
Aljamiyatul Washliyah Sumut Hasbullah Hadi, mantan Sekretaris Daerah
Provinsi Sumut RE Nainggolan, serta mantan GM PT PLN Pikitring Sumut,
Aceh, dan Riau Bintatar Hutabarat.
Juga ada sejumlah kepala daerah yang masih menjabat seperti Bupati
Deli Serdang Amri Tambunan, serta Bupati Serdang Bedagai HT Erry Nuradi
yang merupakan adik kandung mantan Gubernur Sumut almarhum HT Rizal
Nurdin.
Sedangkan bakal calon yang beraktivitas di tingkat nasional adalah
mantan Pangkostrad Letjen TNI (Purn) AY Nasution, mantan Wakil KSAD
Letjen TNI (Purn) Cornel Simbolon, anggota DPR RI dari Partai Golkar
Chairuman Harahap, anggota DPR RI dari Partai Demokrat Sutan Bathoegana,
dan komisioner KPPU Benny Pasaribu.
Menariknya, hampir seluruh nama itu sudah memasang baliho dan spanduk
sebagai bentuk sosialisasi di berbagai kabupaten/kota di Sumut,
terutama di Kota Medan.
Belum ada calon
Pemilihan gubernur di Sumut tergolong unik. Itu disebabkan belum adanya calon pasti dari parpol meski proses pendaftarannya akan dimulai pada 10 November 2012 atau tidak sampai dua minggu lagi.
Pemilihan gubernur di Sumut tergolong unik. Itu disebabkan belum adanya calon pasti dari parpol meski proses pendaftarannya akan dimulai pada 10 November 2012 atau tidak sampai dua minggu lagi.
Mungkin hanya satu nama yang baru dapat dipastikan sebagai cagub
yakni Gatot Pujo Nugroho yang didukung Partai Keadilan Sejahtera dan
rencananya akan berkoalisi dengan Partai Hanura.
Belum diketahui secara pasti faktor yang menghalangi parpol untuk mempercepat pengumuman nama yang akan didukung sebagai cagub.
Namun, menurut pengamat politik dari Universitas Sumatera Utara (USU)
Dadang Darmawan, pengumuman nama cagub itu merupakan bentuk permainan
elit politik yang sengaja menunda hingga “injury time” atau saat-saat
terakhir.
Penundaan tersebut, menurut dia, dimaksudkan agar nama yang meminta
dukungan memiliki kesempatan untuk memberikan dan memastikan
terpenuhinya berbagai kepentingan yang diinginkan elit politik.
Tentu saja fenomena itu merupakan preseden yang tidak baik dalam
pendidikan politik karena tidak mengutamakan agenda setting dan
pembinaan politik serta hanya memperhatikan kepentingan jangka pendek
dari elit politik.
Disebabkan kuatnya kepentingan elit politik itu, hampir seluruh
parpol di Tanah Air terus memberlakukan sistem sentralisasi dalam
penentuan dukungan terhadap cagub tersebut.
Selain sejumlah akses dan kemudahan yang akan didapatkan, pimpinan
parpol juga diperkirakan masih menanti kepastian mengenai fasilitas lain
seperti uang dari calon termasuk dengan alasan menggerakkan mesin
partai.
Untuk itu, tokoh-tokoh yang ingin mendapatkan “restu” dan dukungan
dari parpol tertentu sebagai cagub perlu melakukan lobi-lobi tingkat
tinggi terhadap elit politik yang bersangkutan.
“Jadi ini hanya pesta elit (politik), bukan pesta rakyat,” kata Dadang.
Mantan Ketua Umum Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam (Badko
HMI) Sumut itu menambahkan, untuk “mempermanis” permainan tersebut,
tidak jarang parpol menggunakan cara survei dalam menentukan sosok yang
akan didukung sebagai cagub.
Jika berbagai kepentingan tersebut tidak didapatkan dari seseorang
yang meminta dukungan, maka parpol dapat menggunakan hasil survei
sebagai “tameng” untuk meninggalkannya dan memilih nama lain yang lebih
menjanjikan.
“Jadi, survei itu hanya ‘lips service’ saja,” katanya.
Independen Gugur
Kemeriahan pemilihan Gubernur Sumut diawali dengan kehadiran dua nama
yang menyerahkan bukti dukungan berupa fotocopy KTP sebagai syarat
menjadi cagub dari jalur independen.
Meriahnya, dua nama itu dinyatakan gugur. Keduanya adalah Ketua
Aljamiyatul Washliyah Sumut yang juga anggota DPRD Sumut Hasbullah Hadi
dan seorang warga bernama Rohana Sianipar Herutomo.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumut Irham Buana Nasution
mengatakan, kedua bakal cagub dari jalur independen tersebut dinyatakan
gugur karena tidak memenuhi batas minimal bukti dukungan dari
masyarakat.
Berdasarkan jumlah penduduk dan daerah di Sumut, calon dari jalur
independen harus memenuhi batas dukungan minimal 479.322 KTP dan
setidaknya tersebar di 17 kabupaten/kota.
Dalam proses penyerahan berkas dukungan, Hasbullah Hadi yang
berpasangan dengan mantan Ketua Umum Pengurus Besar Aljamiyatul
Washliyah Aziddin hanya mampu menghadirkan 134.500 KTP yang sah.
Sedangkan bakal cagub Rohana Sianipar Herutomo yang berpasangan
dengan Irwan Zaini hanya memiliki bukti dukungan sebanyak 13.454 KTP.
Keputusan KPU Sumut yang menggugurkan bakal cagub dari jalur
independen itu mendapatkan penolakan dan protes dari puluhan kader
Himpunan Mahasiswa Alwashliyah Kota Medan dan sejumlah warga yang
tergabung dalam Aliansi Masyarakat Penyelemat Demokrasi Indonesia
(AMPDI) dengan melakukan unjuk rasa di kantor KPU.
Secara bergantian, perwakilan Himman dan AMPDI manyampaikan orasi
yang meminta KPU Sumut untuk membatalkan, sekaligus menelaah kembali
keputusan yang menggugurkan pencalonan bakal cagub dari jalur independen
itu.
Pengunjuk rasa menyatakan KPU Sumut melanggar UU Nomor 15 Tahun 2011
tentang Penyelenggara Pemilihan Umum karena tidak memberikan kesempatan
kepada masyarakat untuk memperbaiki kekurangannya.
Namun anggota KPU Sumut Turunan Gulo mengatakan, keputusan KPU dalam
menggagalkan bukti dukungan pasangan cagub dari jalur independen
tersebut telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pihaknya memastikan jika proses penghitungan dan penelitian bukti
dukungan tersebut transparan dan dapat diakses. “Hasilnya sangat
objektif dan dapat dipertanggungjawabkan,” katanya.
Calon Kuat
Dari “penerawangan” politisi senior asal Sumut Hasrul Azwar, terdapat dua nama yang akan menjadi calon kuat dan akan bersaing ketat dalam pemilihan gubernur mendatang.
Dari “penerawangan” politisi senior asal Sumut Hasrul Azwar, terdapat dua nama yang akan menjadi calon kuat dan akan bersaing ketat dalam pemilihan gubernur mendatang.
Kedua nama tersebut adalah Pelaksana Tugas Gubernur Sumut Gatot Pujo
Nugroho dan Dirut Bank Sumut yang juga Ketua Umum KONI Sumut Gus Irawan
Pasaribu.
Tanpa meremehkan peluang tokoh lain, politisi Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) itu menilai cukup banyak alasan dan pertimbangan yang
menyebabkan Gus Irawan Pasaribu dan Gatot Pujo Nugroho akan bersaing
ketat dalam pemilihan Gubernur Sumut.
Gus Irawan Pasaribu sangat diperhitungkan karena namanya telah
tersosialisasikan sejak lama, terutama ketika menjadi Dirut Bank Sumut
dan pembinaan olahraga selaku Ketua Umum KONI Sumut.
Melalui pembinaan ekonomi rakyat yang dijalankan Bank Sumut dan
peranannya dalam pembinaan olahraga melalui KONI, nama Gus Irawan
Pasaribu cukup tersosialisasikan dan mendapatkan tempat tersendiri di
kalangan masyarakat.
Karena itu, tidak mengherankan jika Gus Irawan Pasaribu memiliki
peluang cukup besar untuk meraih dukungan banyak dari masyarakat dalam
pemilihan gubernur.
Kemudian, Gus Irawan Pasaribu juga mendapatkan dukungan masyarakat
karena masih relatif muda dan enerjik sehingga layak mendapatkan amanat
untuk memimpin pembangunan di Sumut.
Selain itu, Gus Irawan Pasaribu juga dinilai memiliki visi kemimpinan
yang dibuktikan dengan keberhasilannya memajukan Bank Sumut sebagai
salah satu BUMD andalan Pemprov Sumut.
Lain lagi jika dikaitkan dengan keberadaan sosoknya yang dianggap
memiliki “nasab” atau garis keturunan sebagai pemimpin jika dilihat
saudara-saudaranya yang duduk di pemerintahan.
Ia mencontohkan beberapa sosok abang kandung Gus Irawan Pasaribu
seperti Bomer Pasaribu (mantan Menteri Tenaga Kerja), Panusunan Pasaribu
(mantan Bupati Tapanuli Tengah), dan Syahrul Pasaribu (Bupati Tapanuli
Selatan).
Sedangkan Gatot Pujo Nugroho diperhitungkan karena menjadi calon yang
berasal dari “incumbent” disebabkan masih menjabat Pelaksana Tugas
Gubernur Sumut.
“Dia diperhitungkan karena sudah masuk dalam sistem,” kata Hasrul yang kini menjabat sebagai Ketua Fraksi PPP DPR RI itu.
Ia juga memperkirakan Gatot Pujo Nugroho sangat diperhitungkan dalam
pemilihan gubernur nantinya karena diperkirakan telah memiliki “amunisi”
yang cukup banyak untuk bersaing.
“Sebagai incumbent, Gatot Pujo Nugroho telah memiliki uang banyak,” katanya.
Butuh Dana Besar
Menurut Hasrul Azwar, seluruh calon yang akan bertarung dalam pemilihan
gubernur Sumut harus menyiapkan “amunisi tempur” berupa dana yang cukup
besar.
Penyiapan dana besar tersebut muncul karena iklim politik secara
nasional termasuk di Sumut dinilai sangat transaksional sehingga proses
demokrasi yang dijalani seperti pemilihan gubernur hanya dapat diikuti
orang-orang yang memiliki uang banyak.
Kondisi itu diperparah dengan sikap sebagian masyarakat yang lebih
mengutamakan tokoh yang mampu memberikan materi dibandingkan kemampuan
dalam memajukan pembangunan di suatu daerah.
“Masyarakat lebih memilih orang yang bisa memberi sesuatu di saat terakhir,” katanya.
Jika dibahas secara nominal, Hasrul Azwar memperkirakan setiap tokoh
yang akan menjadi calon gubernur Sumut tersebut harus menyiapkan dana
minimal Rp100 miliar.
Selain lobi politik, dibutuhkan dana sekitar Rp2 miliar untuk
operasional tim di setiap kabupaten/kota, termasuk biaya sosialisasi,
kampanye, atribut, baliho, dana saksi dan berbagai kebutuhan lainnya.
Dengan jumlah 33 kabupaten/kota, setiap calon gubernur harus
menyiapkan dana operasional minimal Rp66 miliar. “Itu kalau satu
putaran. Jadi, paling tidak, harus disiapkan dana Rp100 miliar,”
katanya.
Pola transaksional dan materialistis tersebut menyebabkan tokoh yang
memiliki komitmen dan pengetahuan yang bagus akan sulit menjadi Gubernur
Sumut jika tidak memiliki uang yang banyak.
“Sekarang, meski punya ilmu bagus, manajemen bagus, dan pengalaman
bagus, tetapi tidak memiliki uang banyak, jangan mimpi menjadi Gubernur
Sumut,” katanya.
Tentu saja, pola transaksional dan materialistis tersebut akan
menyebabkan pemerintahan yang dijalankan tidak dapat seutuhnya demi
pembangunan karena pejabat yang terpilih itu diperkirakan akan berupaya
untuk mengembalikam modalnya.
“Kalau sudah habis Rp100 miliar, bagaimana lagi mengembalikannya
(kalau tidak korupsi),” kata Hasrul yang pernah menjabat Wakil Ketua
DPRD Sumut itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar