Jumat, 23 November 2012

PENANTIAN PILGUBSU

 http://www.antarasumut.com/menanti-kemeriahan-pemilihan-gubernur-sumut

Menanti Kemeriahan Pemilihan Gubernur Sumut

Oleh Irwan Arfa
Biasanya, pemilihan kepala daerah selalu menarik perhatian dan menjadi pembahasan hangat baik di tingkat kampus, perkantoran, hingga warung kopi.
Fenomena tersebut juga terjadi di Sumatera Utara (Sumut) yang akan melaksanakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur pada 7 Maret 2013.

Kemeriahan itu dapat dilihat dari banyaknya nama yang muncul atau dimunculkan untuk menjadi pemimpin di salah satu provinsi di bagian barat Indonesia itu.
Nama yang akan mencalonkan diri bukan hanya tokoh yang berkiprah di tingkat lokal, melainkan sejumlah tokoh yang beraktivitas di level nasional.

Di tingkat lokal terdapat nama Pelaksana Tugas Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho, Ketua DPW Partai Persatuan Sumut Fadly Nurzal, mantan Dirut Bank Sumut yang juga Ketua Umum KONI Sumut Gus Irawan Pasaribu, Ketua DPW Partai Amanat Nasional Syah Afandin, dan Ketua DPD Partai Demokrat Sumut HT Milwan.

Kemudian, Wakil Ketua DPRD Sumut Kamaluddin Harahap, Ketua Aljamiyatul Washliyah Sumut Hasbullah Hadi, mantan Sekretaris Daerah Provinsi Sumut RE Nainggolan, serta mantan GM PT PLN Pikitring Sumut, Aceh, dan Riau Bintatar Hutabarat.
Juga ada sejumlah kepala daerah yang masih menjabat seperti Bupati Deli Serdang Amri Tambunan, serta Bupati Serdang Bedagai HT Erry Nuradi yang merupakan adik kandung mantan Gubernur Sumut almarhum HT Rizal Nurdin.
Sedangkan bakal calon yang beraktivitas di tingkat nasional adalah mantan Pangkostrad Letjen TNI (Purn) AY Nasution, mantan Wakil KSAD Letjen TNI (Purn) Cornel Simbolon, anggota DPR RI dari Partai Golkar Chairuman Harahap, anggota DPR RI dari Partai Demokrat Sutan Bathoegana, dan komisioner KPPU Benny Pasaribu.

Menariknya, hampir seluruh nama itu sudah memasang baliho dan spanduk sebagai bentuk sosialisasi di berbagai kabupaten/kota di Sumut, terutama di Kota Medan.
Belum ada calon
Pemilihan gubernur di Sumut tergolong unik. Itu disebabkan belum adanya calon pasti dari parpol meski proses pendaftarannya akan dimulai pada 10 November 2012 atau tidak sampai dua minggu lagi.

Mungkin hanya satu nama yang baru dapat dipastikan sebagai cagub yakni Gatot Pujo Nugroho yang didukung Partai Keadilan Sejahtera dan rencananya akan berkoalisi dengan Partai Hanura.
Belum diketahui secara pasti faktor yang menghalangi parpol untuk mempercepat pengumuman nama yang akan didukung sebagai cagub.

Namun, menurut pengamat politik dari Universitas Sumatera Utara (USU) Dadang Darmawan, pengumuman nama cagub itu merupakan bentuk permainan elit politik yang sengaja menunda hingga “injury time” atau saat-saat terakhir.

Penundaan tersebut, menurut dia, dimaksudkan agar nama yang meminta dukungan memiliki kesempatan untuk memberikan dan memastikan terpenuhinya berbagai kepentingan yang diinginkan elit politik.
Tentu saja fenomena itu merupakan preseden yang tidak baik dalam pendidikan politik karena tidak mengutamakan agenda setting dan pembinaan politik serta hanya memperhatikan kepentingan jangka pendek dari elit politik.

Disebabkan kuatnya kepentingan elit politik itu, hampir seluruh parpol di Tanah Air terus memberlakukan sistem sentralisasi dalam penentuan dukungan terhadap cagub tersebut.
Selain sejumlah akses dan kemudahan yang akan didapatkan, pimpinan parpol juga diperkirakan masih menanti kepastian mengenai fasilitas lain seperti uang dari calon termasuk dengan alasan menggerakkan mesin partai.

Untuk itu, tokoh-tokoh yang ingin mendapatkan “restu” dan dukungan dari parpol tertentu sebagai cagub perlu melakukan lobi-lobi tingkat tinggi terhadap elit politik yang bersangkutan.
“Jadi ini hanya pesta elit (politik), bukan pesta rakyat,” kata Dadang.

Mantan Ketua Umum Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam (Badko HMI) Sumut itu menambahkan, untuk “mempermanis” permainan tersebut, tidak jarang parpol menggunakan cara survei dalam menentukan sosok yang akan didukung sebagai cagub.

Jika berbagai kepentingan tersebut tidak didapatkan dari seseorang yang meminta dukungan, maka parpol dapat menggunakan hasil survei sebagai “tameng” untuk meninggalkannya dan memilih nama lain yang lebih menjanjikan.
“Jadi, survei itu hanya ‘lips service’ saja,” katanya.
Independen Gugur
 
Kemeriahan pemilihan Gubernur Sumut diawali dengan kehadiran dua nama yang menyerahkan bukti dukungan berupa fotocopy KTP sebagai syarat menjadi cagub dari jalur independen.
Meriahnya, dua nama itu dinyatakan gugur. Keduanya adalah Ketua Aljamiyatul Washliyah Sumut yang juga anggota DPRD Sumut Hasbullah Hadi dan seorang warga bernama Rohana Sianipar Herutomo.

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumut Irham Buana Nasution mengatakan, kedua bakal cagub dari jalur independen tersebut dinyatakan gugur karena tidak memenuhi batas minimal bukti dukungan dari masyarakat.

Berdasarkan jumlah penduduk dan daerah di Sumut, calon dari jalur independen harus memenuhi batas dukungan minimal 479.322 KTP dan setidaknya tersebar di 17 kabupaten/kota.
Dalam proses penyerahan berkas dukungan, Hasbullah Hadi yang berpasangan dengan mantan Ketua Umum Pengurus Besar Aljamiyatul Washliyah Aziddin hanya mampu menghadirkan 134.500 KTP yang sah.
Sedangkan bakal cagub Rohana Sianipar Herutomo yang berpasangan dengan Irwan Zaini hanya memiliki bukti dukungan sebanyak 13.454 KTP.

Keputusan KPU Sumut yang menggugurkan bakal cagub dari jalur independen itu mendapatkan penolakan dan protes dari puluhan kader Himpunan Mahasiswa Alwashliyah Kota Medan dan sejumlah warga yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Penyelemat Demokrasi Indonesia (AMPDI) dengan melakukan unjuk rasa di kantor KPU.
Secara bergantian, perwakilan Himman dan AMPDI manyampaikan orasi yang meminta KPU Sumut untuk membatalkan, sekaligus menelaah kembali keputusan yang menggugurkan pencalonan bakal cagub dari jalur independen itu.

Pengunjuk rasa menyatakan KPU Sumut melanggar UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum karena tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memperbaiki kekurangannya.

Namun anggota KPU Sumut Turunan Gulo mengatakan, keputusan KPU dalam menggagalkan bukti dukungan pasangan cagub dari jalur independen tersebut telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pihaknya memastikan jika proses penghitungan dan penelitian bukti dukungan tersebut transparan dan dapat diakses. “Hasilnya sangat objektif dan dapat dipertanggungjawabkan,” katanya.
Calon Kuat
Dari “penerawangan” politisi senior asal Sumut Hasrul Azwar, terdapat dua nama yang akan menjadi calon kuat dan akan bersaing ketat dalam pemilihan gubernur mendatang.
Kedua nama tersebut adalah Pelaksana Tugas Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho dan Dirut Bank Sumut yang juga Ketua Umum KONI Sumut Gus Irawan Pasaribu.

Tanpa meremehkan peluang tokoh lain, politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu menilai cukup banyak alasan dan pertimbangan yang menyebabkan Gus Irawan Pasaribu dan Gatot Pujo Nugroho akan bersaing ketat dalam pemilihan Gubernur Sumut.

Gus Irawan Pasaribu sangat diperhitungkan karena namanya telah tersosialisasikan sejak lama, terutama ketika menjadi Dirut Bank Sumut dan pembinaan olahraga selaku Ketua Umum KONI Sumut.
Melalui pembinaan ekonomi rakyat yang dijalankan Bank Sumut dan peranannya dalam pembinaan olahraga melalui KONI, nama Gus Irawan Pasaribu cukup tersosialisasikan dan mendapatkan tempat tersendiri di kalangan masyarakat.
Karena itu, tidak mengherankan jika Gus Irawan Pasaribu memiliki peluang cukup besar untuk meraih dukungan banyak dari masyarakat dalam pemilihan gubernur.

Kemudian, Gus Irawan Pasaribu juga mendapatkan dukungan masyarakat karena masih relatif muda dan enerjik sehingga layak mendapatkan amanat untuk memimpin pembangunan di Sumut.
Selain itu, Gus Irawan Pasaribu juga dinilai memiliki visi kemimpinan yang dibuktikan dengan keberhasilannya memajukan Bank Sumut sebagai salah satu BUMD andalan Pemprov Sumut.

Lain lagi jika dikaitkan dengan keberadaan sosoknya yang dianggap memiliki “nasab” atau garis keturunan sebagai pemimpin jika dilihat saudara-saudaranya yang duduk di pemerintahan.
Ia mencontohkan beberapa sosok abang kandung Gus Irawan Pasaribu seperti Bomer Pasaribu (mantan Menteri Tenaga Kerja), Panusunan Pasaribu (mantan Bupati Tapanuli Tengah), dan Syahrul Pasaribu (Bupati Tapanuli Selatan).

Sedangkan Gatot Pujo Nugroho diperhitungkan karena menjadi calon yang berasal dari “incumbent” disebabkan masih menjabat Pelaksana Tugas Gubernur Sumut.
“Dia diperhitungkan karena sudah masuk dalam sistem,” kata Hasrul yang kini menjabat sebagai Ketua Fraksi PPP DPR RI itu.
Ia juga memperkirakan Gatot Pujo Nugroho sangat diperhitungkan dalam pemilihan gubernur nantinya karena diperkirakan telah memiliki “amunisi” yang cukup banyak untuk bersaing.
“Sebagai incumbent, Gatot Pujo Nugroho telah memiliki uang banyak,” katanya.
Butuh Dana Besar
 
Menurut Hasrul Azwar, seluruh calon yang akan bertarung dalam pemilihan gubernur Sumut harus menyiapkan “amunisi tempur” berupa dana yang cukup besar.
Penyiapan dana besar tersebut muncul karena iklim politik secara nasional termasuk di Sumut dinilai sangat transaksional sehingga proses demokrasi yang dijalani seperti pemilihan gubernur hanya dapat diikuti orang-orang yang memiliki uang banyak.

Kondisi itu diperparah dengan sikap sebagian masyarakat yang lebih mengutamakan tokoh yang mampu memberikan materi dibandingkan kemampuan dalam memajukan pembangunan di suatu daerah.
“Masyarakat lebih memilih orang yang bisa memberi sesuatu di saat terakhir,” katanya.

Jika dibahas secara nominal, Hasrul Azwar memperkirakan setiap tokoh yang akan menjadi calon gubernur Sumut tersebut harus menyiapkan dana minimal Rp100 miliar.
Selain lobi politik, dibutuhkan dana sekitar Rp2 miliar untuk operasional tim di setiap kabupaten/kota, termasuk biaya sosialisasi, kampanye, atribut, baliho, dana saksi dan berbagai kebutuhan lainnya.

Dengan jumlah 33 kabupaten/kota, setiap calon gubernur harus menyiapkan dana operasional minimal Rp66 miliar. “Itu kalau satu putaran. Jadi, paling tidak, harus disiapkan dana Rp100 miliar,” katanya.
Pola transaksional dan materialistis tersebut menyebabkan tokoh yang memiliki komitmen dan pengetahuan yang bagus akan sulit menjadi Gubernur Sumut jika tidak memiliki uang yang banyak.
“Sekarang, meski punya ilmu bagus, manajemen bagus, dan pengalaman bagus, tetapi tidak memiliki uang banyak, jangan mimpi menjadi Gubernur Sumut,” katanya.

Tentu saja, pola transaksional dan materialistis tersebut akan menyebabkan pemerintahan yang dijalankan tidak dapat seutuhnya demi pembangunan karena pejabat yang terpilih itu diperkirakan akan berupaya untuk mengembalikam modalnya.
“Kalau sudah habis Rp100 miliar, bagaimana lagi mengembalikannya (kalau tidak korupsi),” kata Hasrul yang pernah menjabat Wakil Ketua DPRD Sumut itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar